
Pemilihan jenis kontrak adalah penentuan
besaran risiko yang dialokasikan ke masing-masing pihak. Jenis kontrak
tertentu memberikan besaran risiko yang tertentu pula pada masing-masing
pihak dalam proyek. Pada jenis kontrak lump sum, kontraktor akan
menanggung lebih banyak risiko dibandingkan dengan kontrak unit price.
Penjelasan ini ada pada posting berjudul “Kontrak adalah sumber risiko terbesar…Awas!!!“. Berikut adalah tabel penjelasnya.

Perlu diperhatikan karena banyak yang
tidak tahu bahwa pemilihan jenis kontrak yang baik pada dasarnya adalah
penentuan alokasi risiko berdasarkan kondisi proyek yang diberikan
secara tepat kepada masing-masing pihak (yang terikat dalam kontrak)
dimana dianggap paling mampu untuk mengatasi alokasi risiko tersebut.
Pemilihan jenis kontrak tidak boleh dipandang untuk mengalihkan seluruh
risiko kepada kontraktor sebagaimana yang sering terjadi terutama pada
proyek swasta, karena hal ini hanya akan meningkatkan biaya dari yang
seharusnya.
Sebagai contoh adalah kasus pekerjaan
pemancangan dengan menggunakan kontrak lump sum. Kita ketahui bahwa
tidak satu pihak pun yang mampu memprediksi kedalaman tanah keras
walaupun telah dilakukan soil investigation pada area tersebut. Hal ini
karena jumlah titik test adalah diasumsikan mewakili secara general yang
belum tentu sesuai dengan kondisi aktual. Perlu banyak titik untuk
lebih meyakinkan agar prediksi tanah keras lebih akurat. Jika kontraktor
diberikan data soil investigation yang terbatas dan kontrak adalah lump
sum, maka kontraktor yang mengerti akan menghitung kedalaman tanah
keras seperti hasil soil investigation ditambah sejumlah angka aman.
Kita ketahui bahwa variasi kedalaman
tanah keras untuk tiap lokasi adalah sangat spesifik dan tidak dapat
digeneralisir. Jika suatu area proyek memiliki variasi kedalaman tanah
keras antara 6-18 m dengan rata-rata 10 m dan kebetulan soil test
menghasilkan data kedalaman tanah keras 12 m, maka bisa jadi kontraktor
akan menghitung kedalaman tanah keras dalam bentuk rata2 sebesar 12+2 m =
14 m.
Semakin terbatas data maka akan semakin
besar angka aman tersebut. Angka aman akan dikonversi menjadi harga
satuan. Sehingga harga penawaran kontraktor untuk pekerjaan pemancangan
akan menjadi lebih mahal dari yang seharusnya yang akhirnya menjadi
beban tambahan bagi Owner. Pada contoh di atas dan digunakan kontrak
lump sum, Owner akan menanggung kelebihan bayar sebesar 14 – 10 m = 4 m
dikali harga satuan.
Lain halnya jika menggunakan kontrak
unit price, maka kontraktor tidak akan menambahkan angka aman dalam
menghitung harga satuan. Sehingga Owner akan membayar sesuai dengan
kondisi yang ada atau cukup sebesar 10 m.
Risiko atas ketidakpastian kedalaman
tanah keras di atas, pada dasarnya adalah risiko yang harus ditanggung
oleh Owner. Jika dipindahkan kepada kontraktor maka perpeluang besar
menyebabkan biaya akan menjadi lebih mahal dibandingkan jika risik
tersebut tetap berada di Owner. Hal ini yang menjadi prinsip penting
dalam hal menentukan jenis kontrak untuk suatu pekerjaan di proyek.
Kasus serupa jika saat tender proyek
pemerintah dimana kondisi gambar perencanaan yang kurang baik sehingga
volume sulit untuk dihitung. Lalu Owner menentukan jenis kontrak lump
sum. Maka kontraktor akan menghitung sesuai persepsinya yang cenderung
bersikap aman atas potensi salah hitung akibat gambar yang tidak jelas.
Sehingga harga penawaran akan menjadi lebih mahal dari yang seharusnya.
Kalau begitu kenapa tidak dipakai saja
jenis kontrak unit price untuk semua kondisi proyek? Kontrak unit price
mensyaratkan bahwa semua volume yang akan dibayar harus sesuai dengan
volume yang terpasang di lapangan. Ini membawa konsekuensi bahwa tiap
mengajukan termijn, harus ada perhitungan bersama terhadap volume
pekerjaan yang terpasang. Dalam hal ini peran quantity surveyor menjadi
sangat penting. Payahnya kita belum punya standar mengenai perhitungan
volume di Indonesia. Alhasil, sering terjadi perbedaan pendapat
mengenai volume yang terpasang di lapangan yang tentu saja melelahkan
jika selalu terjadi tiap penagihan termijn. Bayangkan jika ada ribuan
item pekerjaan di suatu proyek. Tentu bukan pekerjaan yang sederhana.
Volume hasil perhitungan bersamapun
cenderung lebih besar dari yang ada di RAB. Sehingga umumnya
menghasilkan pekerjaan tambah yang akhirnya dianggap oleh Owner sebagai
risiko yang menjadi beban mereka. Paling tidak, adanya selisih volume
menyebabkan Owner memiliki kesulitan dalam hal memastikan biaya
pelaksanaan proyek. Inilah sebabnya mengapa Owner lebih menyukai jenis
kontrak lump sum dan kenapa kontraktor lebih menyukai jenis kontrak unit
price.
Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa
kontrak lump sum hanya cocok jika diaplikasikan pada pengadaan barang
seperti mesin genset, pompa, mobil, dan yang serupa dengan itu
sedemikian tidak perlu lagi dihitung mengenai volume rincian
komponennya. Benarkah? Barangkali pendapat tersebut memandang lump sum
dari sisi kemudahan aplikasinya. Namun menurut saya, lump sum tidak
bermakna menyempit seperti itu. Hampir tidak ada literatur atau
referensi yang menyempitkan makna kontrak lump sum. Jenis kontrak ini
memberi makna bahwa suatu pekerjaan dianggap sebagai suatu paket
termasuk segala risikonya dengan suatu harga total penawaran yang tetap
dan pasti seperti yang dapat dilihat pada berbagai literatur dan
peraturan yang ada.
Sebenarnya tidak ada yang salah mengenai
kedua jenis kontrak tersebut asal sesuai dengan kondisi proyek yang ada
dan aplikasi yang sesuai dengan jenis kontrak yang dipilih. Sehingga
sebelum menentukan jenis kontrak, periksalah kondisi pekerjaan, situasi
proyek, design, dan durasi pelaksanaan lelang.
Berikut rekomendasi pemilihan jenis kontrak berdasarkan kondisi proyek yang paling sering terjadi:
0 komentar:
Posting Komentar