Ketika ditanya salah satu reporter TV tentang monorel, Jokowi menjawab singkat “ini kan soal logika bisnis biasa, saya rasa kalau ada niat tulus menyelesaikan, gampang diselesaikan”.
Dan
saya kemarin tertegun membaca berita PT Adhi Karya dengan mudahnya akan
mengambilalih kendali penerusan proyek Monorel Jakarta, padahal Proyek
ini dimulai pada masa Presiden Megawati tahun 2004, tiang pancangnya
sudah seperti batu-batu candi selama hampir 8 tahun. Bagaimana bisa PT
Adhi Karya menyelesaikan proyek itu dengan cepat? Kemana saja selama 8
tahun ini. Disitu PT Adhi Karya memegang saham 7,5% dari kepemilikan PT
Monorel Jakarta, sebuah Perusahaan yang mengeksekusi Proyek Monorel
Jakarta.
Menurut laporan Tempo Online, tanggal 10 Agustus 2010 :
Proyek
Monorel dikerjakan oleh konsorsium tiga BUMN. Selain Adhi Karya, dua
lainnya adalah PT Inka dan PT LEN. “Adhi akan menggarap infrastruktur,
Inka mengerjakan rolling station, dan LEN menangani masalah sistem
persinyalan hingga tiket,” kata Amrozi.
Untuk
pembiayaan, sekitar 30 persen dana akan berasal dari kas internal
masing-masing anggota konsorsium. Sisanya, 70 persen, akan menggunakan
pinjaman bank.
Pembangunan
proyek monorel sudah direncanakan sejak lama. Diresmikan oleh Presiden
Megawati pada Juni 2004, kereta layang ini menghubungkan dua lini Kota
Jakarta.
Trayek
pertama, yang dijuluki Jalur Hijau, menempuh jarak melingkar 14
kilometer, meliputi kawasan Rasuna Said-Gatot
Subroto-Sudirman-Senayan-Pejompongan. Sedangkan rute kedua, yang disebut
Jalur Biru, melewati Kampung Melayu-Casablanca-Tanah Abang-Roxy. Setiap
jamnya, kereta ringan ini bisa mengangkut 3.500 orang dengan tarif Rp
7.000.
Sayang
tak sampai tiga tahun berjalan, proyek ini mati suri. Penyebabnya, PT
Jakarta Monorail selaku inisiator sekaligus pengembang gagal menggaet
pemodal. Setelah kadung membangun tiang trayek Jalur Hijau, konsorsium
yang terdiri atas PT Indonesia Transit Central (ITC), PT Adhi Karya, dan
Omnico ini terlilit utang.
Adhi
Karya memiliki 7,5 persen saham di PT Jakarta Monorail. Karena
proyeknya berhenti dan dana investor tidak bisa dicairkan, perseroan
memilih hengkang dari proyek tersebut. Menurut Amrozi, perseroan
berencana menarik sisa sahamnya senilai Rp 130 miliar yang masih
mengendap di PT Jakarta Monorail.
Proyek
monorel akan melintasi 16 stasiun, mulai Tanah Abang, Grand Indonesia,
Dukuh Atas, Four Season Kuningan, berputar ke SCBD melewati Jalan
Satrio, Bendungan Hilir, Istora, hingga Senayan. Proyek ini akan
dikoneksikan dengan kereta cepat mass rapid transit (MRT) dan commuter
line di Dukuh Atas. Jalur kereta juga terhubung dengan Transjakarta.
Menjadi
pertanyaan bagi saya, kenapa skim penyelesaiannya demikian mudah dan
cepat lewat pembentukan sindikasi BUMN padahal dulu kelewat ribet sampai
PT Monorail Jakarta meminta nota jaminan pada negara lewat Menteri
Keuangan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan ketus menolak.
Kenapa
PT Monorail ini kemudian di take over ke BUMN bukan lagi diserahkan
pada Pemda DKI, apakah ini karena Jokowi yang akan memenangkan perang
politik di Jakarta?
Kisah Mangkraknya Monorel Jakarta
Cerita Monorel adalah kisah kegagalan Perusahaan dalam melakukan penyelesaian bisnis dengan melakukan pooling fund (Pengumpulan
dana) sekaligus kegagalan Pemda DKI dalam melakukan politik negosiasi
kepada pihak swasta yang berusaha di wilayah otoritasnya. Di Solo Jokowi
tanpa ribut mengoperasikan Railbus Batara Kresna sekaligus menghidupkan
transportasi MRT di dalam kota, tapi di Jakarta yang sebenarnya amat
kondusif dalam iklim bisnis gagal total dalam penyelesaikan monorel.
Kisah
ini bermula pada 23 Agustus PT Indonesia Transit Central (ITC) –
konsorsium yang terdiri dari PT Adhi Karya, PT Global Profex Sinergi dan
PT Radiant Utama menggagas pembangunan monorel, pembangunan ini
terinspirasi berkembangnya MRT model monorel di Malaysia, oleh sebab itu
konsorsium M-Trans Holding, sebuah perusahaan dari Malaysia.
Pada tanggal 31 Juni 2004 entah kenapa
Proyek ini dialihkan kepada PT Jakarta Monorail dan Omnico Singapore.
Tampaknya Pemda DKI memberi sinyalemen oke, maka 14 Juni 2004, Pemda DKI
meminta Presiden Megawati meresmikan tiang pancang Monorail tersebut.
Selama setahun penuh, PT Omnico yang merupakan tandem PT Monorail
Jakarta gagal menyetor modal yang disepakati. Pada tahun 2005 proyek ini
seakan membeku. Kemudian pada pertengahan Februari ada kabar yang
menggembirakan bahwa bakalan ada investor dari Dubai yang akan menyetor
modal. Investor Dubai itu adalah Dubai Islamic Bank, Uni Emirat Arab.
Total dana setoran yang akan masuk disepakati sejumlah Rp. 4,6 trilyun.
Dengan gembira walaupun ini bukan Proyek Pemda DKI tapi proyek mandat
pada swasta, Sutiyoso selaku kepala otoritas DKI meresmikan pembangunan
jalur monorel. Tapi kabar gembira menjadi kecut ketika Dubai Islamic
Bank meminta jaminan keamanan dana-nya kepada Pemerintah RI. Sutiyoso
rupanya setuju akan klausul itu dan di meja kerjanya pada tanggal 5 Juni
2006 ia menuliskan surat permintaan jaminan kepada Pemerintahan RI
dalam hal ini Menteri Keuangan. Surat itu sampai ke meja Menteri
Keuangan dan baru dijawab pada Bulan Agustus dengan jawaban : TIDAK.
Alasannya Pemerintah RI tidak menjamin proyek yang dibangun oleh swasta.
Akhirnya
Proyek ini beneran mangkrak dan bikin repot lalu lintas di Jakarta,
tiang-tiang beton benar-benar merusak pemandangan juga menjadi pameran
kegagalan Pemda DKI dan Pihak Jakarta Monorail dalam melakukan eksekusi
bisnisnya. Perencanaan bisnis ini sepertinya amat spekulatif dan penuh
tanda tanya.
Karena
kelamaan mangkrak Gubernur Fauzi Bowo yang tampaknya tidak berbuat
banyak atas peninggalan masa rezim DKI sebelumnya hanya bisa geram dan
membatalkan Proyek ini pada 20 September 2011. Di bawah Foke, proyek
Monorail akan diakuisisi dengan bus layang “Pokoknya bus. Bus layang atau apapun namanya yang tidak berbasis rel” kata Fauzi Bowo di Balai kota.
Nah
permasalahannya berkembang disini, pihak Pemda DKI ingin mengambilalih
proyek tapi pihak PT Jakarta Monorail tidak mau seenaknya diambilalih
karena merasa sudah mengeluarkan investasi, pihak PT Jakarta Monorail
memasok angka Rp. 600 milyar kepada pemerintah, inilah yang membuat mata
pemerintah terbelalak karena menurut penghitungan pihak Pemerintah
lewat Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) nilainya hanya
Rp.204 miliar. Foke ngotot bahwa pihaknya hanya mengacu pada angka yang diberikan BPKP.
Disini ada waktu yang terbuang selama 8 tahun, apakah tidak ada penghitungan opportunity cost atas waktu tersebut, bagaimana Pemda DKI dibawah Sutiyoso dan Fauzi Bowo dalam melakukan strategical enterpreneurship dalam
penyelesaian masalah monorail di Jakarta. Bagaimana persoalan pendanaan
tidak dipikirkan secara matang dan hanya dibangun atas
spekulasi-spekulasi?
Bagaimana bisa memberikan order kepada perusahaan yang tidak memiliki jaminan akses pendanaan, padahal banyak BUMN yang bergerak di Industri Pasar Modal bisa digandeng dalam konsorsium itu, penyertaan modal bisa saja menerbitkan Municipal Bond (Obligasi
Daerah) dengan penjamin emisi obligasi BUMN seperti Mandiri Sekuritas,
PT Danareksa Sekuritas atau PT BNI Sekuritas dan menjualnya kepada
Bank-Bank yang melakukan portepel atas obligasi, dengan tenor 5 tahun
dan terus diperpanjang bila masa 5 tahun selesai, atau membentuk
Reksadana (Mutual Fund) Infrastruktur dimana sindikasinya terdiri dari
banyak pihak. Rekayasa-rekayasa kreatif keuangan tidak dilakukan.
Jawabannya mungkin satu : -Kredibilitas-.
Di titik inilah saya heran kenapa BUMN mengambilalih dengan cepat bahkan kelewat mudah mengingat proses kemarin amat pabalieut
alias ribet kata urang Sunda. Saya sendiri merasa senang bila proyek
ini menjadi cepat terselesaikan tapi saya juga bertanya kenapa ini tidak
diujikan kepada Jokowi?
Jawabannya mungkin politis bagi rezim lawan politik Jokowi : -Political Loss-
terlalu rugi bila diberikan kepada Jokowi. Karena bagaimanapun bila
Jokowi memenangkan perang politik di Jakarta maka DKI Jakarta merupakan
etalase politik bagi kelompok oposisi dalam melakukan pembenahan
manajemen pemerintahan daerah dan bila Jokowi berhasil dalam melakukan
eksekusi proyek monoral maka ini akan jadi monumen keberhasilan Jokowi
setara dengan monumen proyek perbaikan kampung MHT-nya Ali Sadikin di
masa lalu.
Dan
kemudian yang jadi pertanyaan penting bagi saya pribadi : “Kenapa Sri
Mulyani tidak memberikan jaminan Pemerintah kepada Proyek ini” ada apa?
–kalau alasannya dikerjakan swasta sih tidak apa-apa, dan hal yang wajar
tapi apakah ada hal lain diluar itu? Kenapa Sri Mulyani perusahaan
tidak melakukan politik pendanaan kepada sumber-sumber di dalam negeri
dalam melakukan konsorsium tapi mengandalkan dana dari luar negeri?
Pendanaan masyarakat dan bank-bank lokal kiranya cukup dalam melakukan
pendanaan infrastruktur monorail.
Ini
pertanyaan besar saya, jadi ketika nanti Dahlan Iskan meneken
persetujuan konsorsium dengan mudah, kenapa di masa Sri Mulyani tidak
mudah? Ada apa ini?
Kegagalan Proyek Busway, Kegagalan Konversi Kendaraan
Di
tahun 2004, Sutiyoso melakukan gebrakan politik yang amat hebat, dengan
melakukan Busway. Disini Sutiyoso menunjukkan kemampuannya yang luar
biasa dalam menerobos kebekuan-kebekuan keadaan, idenya berjangkauan
jauh ke depan. Banyak pihak saat itu ramai sekali menuding Sutiyoso
memburu jabatan RI-1. Tapi memang sejarah membuktikan Sutiyoso gagal
duduk di RI-1 kalah populer dengan eks anak buahnya saat di TNI AD dulu,
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di kemudian waktu masyarakat banyak
menilai memang SBY memiliki karakteristik personal paling mendasar
‘takut bertindak’. Ini berbeda sekali dengan Sutiyoso yang berani
mengambil resiko untuk bertindak dan membenahi keadaan.
Penyempitan
jalan raya dilakukan Sutiyoso dengan tujuan mengonversi pengendara
mobil menjadi penumpang MRT Busway, karena memang itulah cara
satu-satunya yang paling efektif dalam menyelesaikan problem lalu lintas
di DKI Jakarta. Sutiyoso berhasil membangun jaringan awal busway, tapi
kemudian manajemen busway menjadi sedemikian berantakan, banyak
penumpang menumpuk di antrian-antrian halte dan tidak adanya angkutan
penjemput (feeder) yang
merupakan bagian penting dalam aliran darah lalu lintas di DKI, praktis
pembaruan hanya terjadi pada adanya bus-bus besar bukan pada sistem
transportasi yang nyaman dan substansi dari kerja Sutiyoso : -Mengonversi Penumpang Kendaraan Pribadi ke Busway gagal total-.
Inilah
ujian terbesar bagi Jokowi dalam menafsirkan ide brilian Sutiyoso yang
gagal diterjemahkan Foke. Mengonversi penumpang bermobil dan menjadikan
Busway sebagai jaringan jalan pemecah kebuntuan lalu lintas DKI akan
amat penting. Jokowi harus mencari pool-pool baru didalam perbatasan
kota DKI dimana para penumpang yang naik motor atau mobil memarkir
kendaraannya di pool-pool ujung busway, sehingga para komuter dari luar
DKI Jakarta tidak lagi menggunakan kendaraannya masuk ke DKI Jakarta.
Filosofi terbesar MRT termasuk busway adalah : -Mengonversi,
mengubah pola masyarakat yang berkendaraan pribadi ke kendaraan umum,
bukan mengeliminasi kendaraan-kendaraan umum yang sudah ada.
Konversi terhebat dalam sistem transportasi DKI adalah beralihnya
penumpang-penumpang bus dan angkot ke sepeda motor karena adanya akses
kredit murah yang diberikan lembaga pendanaan non bank dalam penyaluran
modal kendaraan bermotor, pola ini harus juga dipelajari pihak Jokowi
bila menang di Jakarta bagaimana mengalihkan mentalitas naik sepeda
motor dan mobil ke kendaraan MRT dengan banyak cara.
Dalam
hal memecah kebuntuan dari gagalnya agenda kerja Busway saya lebih
percaya pada Jokowi ketimbang Foke yang terbukti selama 10 tahun baik
sebagai wagub ataupun gubernur gagal melakukan politik konversi
mentalitas berkendara di DKI Jakarta.
Untuk itu berilah Jokowi kesempatan membenahi Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar